2 Maret 2012

Berbahasa Inggris Tidak Nasionalis (?)



Nasionalisme diartikan sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara dengan mewujudkan satu identitas bersama untuk sekelompok manusia. Jelaskan hubungan bahasa sebagai salah satu unsur identitas nasional. Sedangkan bahasa, apakah ada hubungannya dengan tidak memakai bahasa Indonesia diartikan sebagai tingkah yang tidak nasionalis?
Dalam tatanan kehidupan global, tidak bisa dipungkiri penggunaan bahasa inggris lebih populer dibanding bahasa kesatuan Indonesia. Bahasa inggris layaknya sebuah elemen penting dalam komunikasi. Mau tidak mau, globalisasi dan kemajuan Iptek adalah salah satu alasan bahwa bahasa inggris itu penting.
Jika dikaitkan kembali dengan pernyataan bahwa yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dianggap tidak nasionalis, bagaimana dengan masyarakat-masyarakat yang masih terbelakang. Masyarakat pelosok yang karena kurangnya pendidikan tidak mampu berbahasa Indonesia, apa mereka juga dianggap tidak nasionalis?
Bahasa, sebenarnya bukan lagi ukuran seseorang untuk mencintai negaranya apalagi ukuran untuk mempertahankan kedaulatan negaranya (nasionalisme). Banyak yang harus ditakdirkan berada di luar negeri, tapi belum tentu didalam dirinya melupakan bangsa aslinya. Lain lagi dengan daerah-daerah pelosok di indonesia yang karena keterbelakangan pendidikan tidak mampu berbahasa indonesia dengan baik dan lebih senang dengan bahasa daerahnya masing-masing.
Banyak yang menjadi alasan mengapa penggunaan bahasa indonesia sekarang kurang populer. Salah satunya adalah tatanan kehidupan global. Letak geografis indonesia yang sangat strategis, setidaknya begitu paparan guru sejarah ketika memaparkan latar belakang penjajahan zaman dulu. Penggunaan system informasi lebih dominan menggunakan bahasa inggris, menuntut setiap pelajar harus mampu menguasai bahasa international ini.
Bahasa Indonesia. Bahasa yang lahir 28 oktober 1928 silam, tidak dapat dipungkiri merupakan suatu kebanggan atas semangat pemuda. Untuk dapat menyatukan beragam suku, etnik, dan budaya maka lahirlah kesatuan “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Namun tanpa harus menyangkut pautkan nasionalisme dengan pemakaian bahasa inggris, sepertinya dangkal sekali.
Para founding father tentu tidak menginginkan bangsa yang mereka perjuangkan terbelakang dalam hal kemajuan IPTEK. Mereka juga tentu tidak menuntut perjuangannya “didiamkan” dan hanya dirayakan ketika tanggal 17 Agustus saja. Perlu tindakan dinamis untuk perubahan. Tuntutan global memaksa setiap orang untuk mampu bertindak kreatif, dinamis, dan tentu sebuah bangsa yang ingin maju harus mampu menerima perkembangan baru. Dengan proses yang disebut filtrasi kebudayaan, di mana setiap “pembaharuan” yang masuk harus disesuaikan dengan budaya asli, dan tanpa menghilangkan kebudayaan asli tersebut.
Belakangan juga banyak dibahas, karya-karya muda dalam hal kepenulisan juga kurang dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar (baku). Penulis muda seperti Raditya Dika misalnya yang lebih memilih “gw” ketimbang “saya” dan bahasa-bahasa lainnya yang memang sangat up-date hari ini.
Kedua masalah tersebut (berbahasa inggris dan bahasa baku) seharusnya bukan lagi menjadi penilaian/landasan seseorang untuk mengukur “seberapa cintanya kepada bangsa,” nasionalisme ataupun cinta akan bangsa sendiri bisa diwujudkan melalui sebuah apresiasi karya. Dengan menghambat seseorang harus berbahasa Indonesia, belum tetntu menunjukkan kadar nasionalismenya. Dan belum tentu juga individu yang selalu menggunakan bahasa Indonesia setiap hari bangga akan bangsanya.
Nasionalisme seharusnya bukan lagi permasalahan teritorial, dimana sesorang yang jauh dari Indonesia yang harus berbahasa inggris dianggap tidak nasionalis. Nasionalisme adalah permasalahn pribadi masing-masing. Ia tidak bisa dipaksakan dan juga belum tentu tampak. Hal-hal kecil seperti halnya berkarya dengan jujur, tanpa harus takut dinilai tidak nasionalis adalah wujudnya. Raditya dika misalnya juga lebih menekankan kejujuran dalam karyanya ketimbang memakai bahasa baku, tapi tidak jujur. Apapun bentuk karyanya, sekalipun konyol tetap ada yang terinspirasi untuk berkarya lewat tulisan. Jadi, tidak perlu repot menilai kadar nasionalis seseorang melalui konsep-konsep jadul, terus saja berkarya!

0 komentar:

Posting Komentar